Contoh Makalah Fiqih Tentang Fiqih Politik

Contoh Makalah Fiqih Tentang Fiqih Politik

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam penerapan hukum islam di kehidupan sehari-hari, tidak melulu berbicara tentang ibadah dan segala urusan dengan tuhan. Dalam islam huga mengatur kehidupan antar manusia, seperti dalam faktor ekonomi, politik dan budaya. Politik dalam islam disebut dengan siyasah, banyak pengertian tentang siyasah yang bisa anda temukan dari berbagai sumber, dan setiap madzab juga memiliki penjelasan yang berbeda, salah satunya adalah penjelasan dari ulama Syafi'iyah mengatakan, politik harus sesuai dengan syari'at Islam, yaitu setiap upaya, sikap dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syari'at.
Dalam hal itu, bukan islam secara tekstual yang harus digunakan sebagai hukum dalam berpolitik, jika hanya berpaku dalam teks, tentunya akan sulit untuk diterima. Lain halnya jika dikaji secara konstektual, hukum islam tidak harus digunakan sebagai hukum positif, cukup hukum yang berlaku memiliki nilai nilai keislaman.
Sekaligus, dalam politik islam juga mengatur beberapa prinsip dalam bernegara, dan bagaimana memilih pemimpin yang tepat, agar sebuah negara tidak mengalami perpecahan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana penjelasan tentang politik islam ?
2.      Bagaimana prinsip bernegara menurut nash Al-Quran dan Sunnah ?
3.      Bagaimana posisi hukum islam dalam hukum positif ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Politik Dalam Fiqh Islam
Islam sebagai agama samawi yang komponen dasarnya aqidah, syariah dan akhlak mempunyai korelasi yang erat dengan politik dalam arti yang luas. Sebagai sumber motivasi masyarakat, Islam berperan penting menumbuhkan sikap dan perilaku sosial politik. Implementasinya kemudian diatur dalam rumusan syari sebagai katalog lengkap dari perintah dan larangan Allah, pembimbing manusia dan mengatur lalu-lintas aspek-aspek kehidupan manusia.[1] Dalam mengkaji pemikiran politik dan sistem ketatanegaraan dalam islam harus diorientasikan pada upaya menerjemahkan cita-cita politik Islam dengan cara membuat format dan sistem politik yang sesuai degan etika al-Quran.[2]
Dalam teori politik sekuler, agama tidak dipandang sebagai kekuatan. Agama hanya dilihat sebagai sesuatu yang berkaitan dengan persoalan individual. Padahal secara fungsional, ternyata kekuatan agama dan politik saling mempengaruhi. Memang dalam arti sempit ada diferensiasi, misalnya seperti diisyaratkan oleh interpretasi sahabat Ibnu Mas'ud terhadap ungkapan uli al-amr sebagai umara’ (pemimpin formal pemerintahan), yang dibedakan dengan ulama sebagai pemimpin agama.
Dalam website resmi Nahdlatul Ulama yang mengutip dari buku “Nuansa Fiqh Sosial” karangan Sahal Mahfud mengungkapkan tentang pengertian politik (al-siyasah) dalam fiqih Islam menurut ulama Hanbali, adalah sikap, perilaku dan kebijakan kemasyarakatan yang mendekatkan pada kemaslahatan, sekaligus menjauhkan dari kemafsadahan, rneskipun belum pernah ditentukan oleh Rasulullah SAW. Ulama Hanafiyah memberikan pengertian lain, yaitu mendorong kemaslahatan makhluk dengan rnemberikan petunjuk dan jalan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Bagi para Nabi terhadap kaumnya, menurut pendapat ini, tugas itu meliputi keselamatan batin dan lahir.[3]
Sedangkan menurut ulama Syafi'iyah mengatakan, politik harus sesuai dengan syari'at Islam, yaitu setiap upaya, sikap dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syari'at. Tujuan itu ialah: (1) Memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama Islam. (2) Memelihara rasio dan mengembangkan cakrawalanya untuk kepentingan ummat. (3) Memelihara jiwa raga dari bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang primer, sekunder mau pun suplementer. (4) Memelihara harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa melampaui batas maksimal dan mengurangi batas minimal. (5) Memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik mau pun rohani.
Dari pengertian itu, Islam memahami politik bukan hanya soal yang berurusan dengan pemerintahan saja, terbatas pada politik struktural formal belaka, namun menyangkut juga kulturisasi politik secara luas. Politik bukan berarti perjuangan menduduki posisi eksekutif, legislatif mau pun yudikatif. Lebih dari itu, ia meliputi serangkaian kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan jasmani mau pun rohani, dalam hubungan kemasyarakatan secara umum dan hubungan masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan.
Bangunan politik semacam ini, harus didasarkan pada kaidah fiqih yang berbunyi, tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat atau masyarakat). Ini berarti, bahwa kedudukan kelompok masyarakat sipil dan lembaga kekuasaan tidak mungkin berdiri sendiri.
Fiqh ini juga mencakup hubungan antara individu dan negara atau hubungan antara pemerintahan dan yang diperintah, atau hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin, atau hubungan antara penguasan dan rakyat, yang pada zaman sekarang, diatur dalam fiqh perundang-undangan, atau di dalam fiqh keuangan, fiqh administrasi, dan fiqh internasional. Inilah yang kami maksudkan sebagai fiqh politik atau fiqh politik syar’i. [4]
B.     Identitas Negara Menurut Islam
Berbicara masalah negara, berarti berbicara tentang hal-hal yang menyangkut sistem komunitas manusia, yang dalam istilah hukum islam disebut “al-ahwal al-ijtima’iyyah”. Intensitasnya ditentukan oleh interaksi sosial, baik antara individu dengan kelompok maupun antara kelompok dengan kelompok yang lain. Jika sudah berbentuk perundang-undangan, makakonsekuensinya bagi komunitas sosial tersebut adalah mengikat. Dengan demikian seorang muslim harus mengikat diri pada ketentuan yang digariskan untuknya, baik menyangkut “habl min Allah” maupun “habl min al-nas”[5]
Dalam kaitanya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, Maududi,seorang pemikir politik islam mengatakan bahwa pemegang kekuasaan hakiki dan mutlak dalam kehidupan hanyalah Allah. Namun,teori kekuasaan tuhan menurut islam,tidaklah identik dengan “teokrasi”,begitu juga dengan kedaulatan rakyat. Konsep kedaulatan rakyat dalam islam tidak sama dengan konsep demokrasi barat. Sebab, kedaulatan menurut islam, secara esensial merupakan theo-democrasy, artinya  islam juga mengakui eksistensi kedaulatan rakyat, tetapi kedaulatan itu tidak mutlak, karena dibatasi oleh norma-norma yang datang dari tuhan. Dengan katalain, kedaulatan rakyat menurut islam berada pada pengawasan tuhan.[6]
C.    Posisi Hukum Islam Dalam Hukum Positif
Dalam buku “Fiqih Realitas” mengungkapkan bahwa hukum positif dikenal dengan al-Qanun al-Wadh’i, ini membayangkan undang-undang atau peraturan untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat yang diputuskan dan ditetapkan oleh pemerintah. Akhir –akhir in,sebagian orang islam di Indonesia menginginkan negara ini menjadi negara Islam, atau paling tidak mereka menginginkan hukum formal dalam islam bisa dijadikan sebagai hukum positif. Peratura-peraturan yang secara tekstual sudah diatur dalam nash Al-Quran dan Sunnah dijadikan panduan resmi negara.[7]
Sebaliknya, kalangan islam liberal mengatakan bahwa islam tidak perlu ditampakkan dengan baju kebesarannya. yang penting adalah setiap perilaku itu bernilai islami. Islamhanya merupakan nilai moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Makanya, peraturan yang ada tidak harus menggunakan ketentuan yang sudah digariskan secara tekstual pada nash. Cukuplah peraturan-peraturan tersebut memuat nilai-nilai dan prinsip dasar yang disyariatkannya hukum itu.
D.    Islam dan Demokrasi
Mayoritas ahli politik moder, terutama yang ada dinegara-negara islam, melihat adanya kesamaan dan meiripan antara islam dan demokrasi. Jika yang dimaksud dengan demokrasi adalah seperti yang kita ketahui “Pemerintahan rakyat, melalui rakyat, dan untuk rakyat”. Maka, tanpa diragukan lagi, telah mencakup dalam sistem pemerintahan islam.
Jika yang dimaksud dengan demokrasi adalah yang sering dikaitkan dengannya, seperti adanya konsep politik, atau konsep sosial tertentu, misalnya konsep persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berkepercayaan dan akidah, mewujudkan keadilan sosial, berkebebasan bekerja, hak hidup, dan lainnya, seluruh prinsip ataupun hak tadi, terwujudkan dan terjamin dalam sistem islam.[8]
E.     Prinsip Politik Islam
Segala prinsipnya adalah bersumber kepada firman Tuhan dan Hadist Nabi, sedangkan bahan-bahan yang selalu dibicarakan adalah berasal dari sejarah dan pengalaman umat islam sendiri. Sebab itu, sebagaimana prinsipnya tidak dapat disamakan dengan prinsip politik barat yang bersumbe kepada teori Yunani misalnya. Dia tidak sama dengan demokrasi, aristokrasi dan segalai krasi lainnya, merskipun ada pada saatnya ia sejalah degan salah satu prinsip politik barat itu.
Bukan saja nama ilmunya yang mempunyai khusus dalam bahasa arab, “siasah” atau nama lain yang pernah dipakai seperti khilafah, imamah, imarah dan lainnya, tetapu prinsip politik islam mempunyai istilah sendiri, seperti “musyawarah”, keadilan, persamaan (musawah) dan lainnya.
Seseorang yang melaksanakan fungsi kekhilafahan, keimaman dan keamiran dalam sejarah Islam disebut khalifah, imam dan amir. Arti primer kata khalifah, yang bentuk pluralnya khulapa dan khalaif yang berasal dari kata khalafa, adalah "pengganti" yaitu "seseorang yang menggantikan tempat orang lain dalam persoalan. Kata ini telah mengalami perkembangan arti, baik arti khusus maupun umum[9]
Imarah yang berarti keimaman, kepemimpinan, pemerintahan. Imarah sebutan untuk jabatan amir dalam suatu Negara kecil yang berdaulat untuk melaksanakan pemerintahannya oleh seorang amir. Gelar amir pertama kalinya digunakan oleh khalifah kedua yaitu Umar bin Khattab, Umar tidak mau menyebut dirinuya sebagai khalifah.[10]
Maka sebab itu, hubungan degan ilmu-ilmu lainnya, lebih banyak dihubungkan kepada ilmu yang termasuk penggolongan kepada ilmu agama. Segala ilmu-ilmu lain yang digolongkan kepada “ilmu umum” adalah menjadi “objek” yang diolah dan dipergunakan untuk kemajuan dan kemakmuran rakyat seluruhnya.[11]


F.     Prinsip Prinsip Bernegara Berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rasul
1.         Prinsip Kekuasaan Adalah Amanah
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dialah yang menciptakan segala yang ada di bumi ini untuk kalian...” (QS Al-Baqarah :29)
Dalam kaitannya dengan kekuasaan negara, maka sebagai penguasa ia harus bertanggung jawab kepada rakyat yang telah memilihnya. Mengingat kekuasaan itu adalah amanah rakyat, harus diperjuangkan, rirealisasikan, dan dipertanggung jawabkan. Amanah kekuasaan merupakan “perjanjian masyarakat”, sehingga jika tidak dilaksanakan, maka penguasa dapat dituntut mundur.
2.         Prinsip Keadilan

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kau menetapkan dengan adil”
(QS Al-Nisa:58)
Termasuk dalam menegakkan keadilan ini adalah terpeliharanya hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk hidup, hak milik dan hak usaha, hak harga diri, hak berpendapat, hak beragama dan toleransi beragama.
3.         Prinsip Tegaknya “Amar Makruf Nahi Munkar”
Prinsip tegaknya “amar makruf nahi munkar” adalah sebagaimana yang telah diungkapkan dalam islam harus dilaksanakannya “amar  makruf nahi munkar” (Q.S Al-Imran 104 )
4.         Prinsip Terwujudnya Kesejahteraan dan Keamanan
كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
“Makanlah olehmu dari rezeki yang dianugerahkan Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepadanya. Negerimu adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang maha pengampun.” (QS Saba’:15)
Ayat diatas menuntut kemampuan para penyelenggara pemerintah negara untuk menggali sumber-sumber daya alam yang telah disediakan tuhan dan terciptanya kesejahteraan dan keamanan bagi seluruh rakyat

5.         Prinsip Kepemimpinan Yang Tepat
إِذَا أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِه فَانْتَظِرْ السَّاعَةِ
“Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” (HR Bukhori)
Hadist di atas menuntut kemampuan pemimpin yang tepat dalam menjalankan pemerintahan negara, sehingga menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.[12]
Kita ambil contoh saja bangsa kita yang mayoritas Islam,senantiasa diingatkan bahwa perlawanan terhadap pemerintahan kolonial yang “kafir” itu adalah dalam rangka memperjuangkan tegaknya “amar makruf nahi munkar” di tanah air, sedangkan mencintai tanah air sendiri merupakan tanda keimanan kita. Semangan inilah yang selalu tertanam di dada setiap muslim di masa penjajahan. Sikap anti penjajah itu akibat politik penjajah yang mengarah kepada siasat tipu muslihat atau memaksakan kehendak,sehingga pemberontakan yang dilancarkan bangsa ini pun tidak terelakkan lagi. Sejarah juga mengakatakan kepada kita bahwa bangsa Indonesia terbentuk bukan hanya dari hasil perjuangan para pejuang, namun juga atas rahmat Allah Yang Maha Kuasa (Pembukaan UUD 1945,Alinea III). Ini perlu disadari oleh generasi penerus, betapa agama bagi bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kehidupan pribadi, kehidupan pribadi, kehidupan bermasyakat, berbangsa bernegara[13]
Dalam hal lain, seperti mengatasi keberagaman budaya yang ada di Indonesia, agama islam juga juga berpengaruh dalam perkembangan budaya. Menurut buku “Kajian Fiqh Nabawi &Kontemporer” Prof. Krom menyatakan bahwa kehadiran islam mempunyai pengaruh yang khusus pada bangsa Indonesia, yang sejak awal kehadirannya hingga sekarang, islam merupakan agama yang paling banyak dianut bangsa ini, seperti yang diungkapkan bahwa pengaruh budaya Islam di Indonesia adalah bersifat “penetration pacifique et tolerant et constructive” (penetrasi secara damai dan bersifat membangun[14]
G.    Pendirian Atau Pandangan Islam Terhadap Pemeluk Agama Lain[15]
1.         Dinamakan “ahli zimmah” artinya kaum yang mendapat jaminan Allah dalam hak yang sama dengan kaum muslim. Hak-haknya tidak boleh dilanggar atau dikurangi, baik mengenai politik, ekonomi, sosial, ketentaraan, pengajaran, pendidikan,dan hak hak lain yang bersangkutan dengan kenegaraan. adapun mengenai ibadah, diserahkan kepada mereka sendiri, sekali-kali tidak boleh diganggu atau dikurangi.
2.         Dinamakan “musta’man”, yaitu pemeluk agama lain yang meminta perlindungan keselamatan dan keamanan terhadap diri dan hartanya. Pada golongan ini tidak dilakukan hak dan hukum negara. Diri dan harta mereka wajib dilindungi dari segala yang akan membahayakan selama mereka berada dalam perlindungan kita.
3.         Dinamakan “muahadah”, yaitu perjanjian damai dan persahabatan antara negara lain yang bukan negara islam, baik disertai dengan perjanjian akan tolong menolong, saling membela, ataupun tidak.
4.         Dinamakan “harbi”, atau musuh, yaitu pemeluk agama lain yang mengganggu keamanan dan ketentraman, bersifat zalim atau melakukan penganiayaan, suka menghasut, membuat fitnah, mengacau, dan memaksa orang untuk meninggalkan agamanya atau tidak mengamalkannya, golongan ini dianggap  musuh islam. Kita diizinkan melawan, mengangkat senjata, dan mengumumkan perang kepada mereka selama perbuatan mereka yang keji itu masih mereka lakukan. Dengan demikian, tercapai keamanan dan kesentosaan bagi setiap pemeluk agama, agama dapat tegak berdiri, tidak diganggu dan difitnah lagi oleh pengacau dan perusak itu.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.        Menurut ulama syafi’i, politik islam adalah politik yang harus sesuai dengan syariat islam, upaya, sikap dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syari'at. Menurut Ulama Hanafiyah memberikan pengertian lain, yaitu mendorong kemaslahatan makhluk dengan rnemberikan petunjuk dan jalan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.
2.        Dalam islam juga memberikan gambaran tentag prinsip-prinsip bernegara yang sesuai dengan nash al-Quran dan Sunnah, salah satunya bagaimana kita harus memilih pemimpin yang tepat, agar terwujudnya keamanan dan kesejahteraan. Setiap pemimpin harus memiliki sikap adil dan menjamin hak warganya.
3.        Islam tidak harus dijadikan sebagai sebuah hukum positif yang berlaku dalam sebuah negara. Cukup dengan hukum yang memiliki nilai-nilai keislamana, dalam hal ini perlu mengkaji hukum islam secara konstekstual dan tidak terpaku hanya pada teks nash al-Quran dan Hadist.
4.        Dalam kasus memilih pemimpin yang non-muslim, dalam makalah ini juga kami bahas tentang pandangan islam terhadap saudaranya yang non-muslim. Salah satunya adalah “ahli zimmah” orang yang di jamin haknya,baik dalam berpolitik maupun yang lainnya. Dan selagi pemimpin itu ahli dalam bidangnya,tidak masalah selagi dia non muslim.



[1] Ridwan, “Paradigma Politik NU”, STAIN Purwkerto, Purwokerto, 2004, hlm. 1
[2] Ibid, hlm. 3
[3] http://www.nu.or.id/post/read/50799/islam-dan-politik
[4] Yusuf Al-Qardhawi, “Fiqh Siyasah”, CV Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm. 29
[5] Hassan Saleh, “Kajian Fiqh  Nabawi & Kontemporer, PT Rajagrafindo, Jakarta, 2008 hlm 467
[6] Ibid hlm 468
[7] Abu Yasid,” Fiqh Realitas”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005 hlm 46
[8] Muhammad Dhiauddin Rais, “Teori Politik Islam”, Gema Insani Press, jakarta, 2001 hlm 306-307
[9] Hassan Shadily (Pem. Red. Umum), Ensiklopedi Indonesia, Jilid III, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta:1982, h1m. 1769
[10] Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah (Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
[11] Zainal Abidin Ahmad, “Ilmu Politik Islam:Konsepsi Politik dan Ideologi Islam”, Bulan Bintang, Jakarta, 2007, hlm. 219-220
[12] Ibid Hassan Saleh.... hlm 469-471
[13] Ibid hlm. 485
[14] Ibid hlm. 484




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Back To Top